
Pada libur panjang di akhir pekan yang diawali Hari Idul Adha, saya berkunjung ke Yogyakarta. Selama 5 hari di liburan yang diinisiasi pemerintah itu, saya mengunjungi beberapa destinasi wisata di kota Yogyakarta dan Kabupaten Bantul, Kulon Progo, Sleman, serta Gunung Kidul.
Geliat Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) sebagai destinasi wisata, memang tidak ada matinya. Berdenyut kencang selama 24 jam penuh. Baik wisata kuliner, edukasi, dan objek-objek wisata alam serta pertunjukan seninya, semua hidup. Sempat terseok terdampak pandemi covid 19, saat ini tourism atau kehidupan wisata DIY kembali bergairah semantap mantapnya.
Mau menginap di hotel pada liburan panjang seperti saat ini dijamin sudah sulit cari kamar. Kata seorang hotlier di Jogya, para wisatawan harus memesan kamar jauh-jauh hari jika berlibur ke Jogya pada akhir pekan. Apalagi pada libur panjang. Jika mendadak dijamin akan sulit mendapatkan kamar.
Sadar hotel-hotel sudah penuh, saya cari homestay. Apalagi saya berempat. Cocoknya ya menginap di homestay.
Di Jogya banyak banget homestay. Belum ada data berapa persisnya jumlah homestay di kota wisata terpopuler kedua setelah Bali ini. Namun data jumlah hotel sih ada.
Data terbaru di Bapeda DIY, di seluruh wilayah DIY terdapat 1.696 hotel. Dengan rincian: 15 unit hotel bintang lima, 31 unit hotel bintang empat, 67 unit hotel bintang tiga, 44 unit hotel bintang dua, dan 11 unit hotel bintang satu. Sedangkan hotel non bintang berjumlah 1. 528 unit.
Apakah homestay masuk di data jumlah hotel tak berbintang? Berbintang atau tidak, memilih homestay sebagai tempat menginap selama di Jogya, bagi saya memang adalah pilihan yang paling tepat.
Saya mempunyai alasan, mengapa homestay layak menjadi pilihan sebagai penginapan. Ini bukan spontan atau terpaksa mengingat hampir semua hotel di Jogya penuh, tapi homestay memang mempunyai magnet atau daya tarik sebagai penginapan. Menginap di homestay itu asik, nah dimana asyiknya?
Sebelum itu, perlu kita pahami apa itu homestay?
Dalam buku “Manajemen Pemasaran Pariwisata Model Brand Loyalty Pengembangan Potensi Wisata di Kawasan Pedesaan” oleh I Made Bayu Wisnawa dijelaskan, homestay adalah rumah tinggal yang sebagian kamarnya disewakan kepada tamu dalam jangka waktu tertentu untuk mempelajari budaya setempat atau rutinitas tertentu.
Pengertian homestay ini mengingatkan saya pada kebiasaan para antropolog dalam meneliti adat kebiasaan atau budaya di suatu masyarakat. Antropolog menerapkan metode observasi partisipasi, yakni dengan tinggal di rumah penduduk dan hidup bersama dengan masyarakat yang menjadi objek penelitiannya. Dengan demikian peneliti mendapatkan data yang sangat rinci dan riil tentang adat kebiasaan atau budaya suatu masyarakat dalam semua unsur. Mulai dari bahasa sehari-hari, mata pencaharian, sistem kekerabatan, sistem organisasi sosial, sistem tehnologi, kesenian, dan sistem kepercayaan.
Para traveler bukan peneliti. Atau mau jadi peneliti, monggo. Peneliti tinggal di rumah penduduk setempat selama beberapa bulan. Sedangkan para traveler hanya berlibur, maka hanya tinggal beberapa hari saja. Namun demikian, dengan menginap di homestay, para traveler dapat merasakan seolah-olah sebagai seorang atau kelompok peneliti yang sedang menyelami kehidupan masyarakat setempat.
Bagaimana hal itu bisa terjadi?
Pada awalnya, para traveler yang menginap di homestay bukanlah para wisatawan biasa. Wisatawan yang pergi ke suatu tempat baik perorangan atau kelompok untuk mencari hiburan dengan bersenang-senang di objek-objek wisata. Entah dengan berkulineran, atau bentuk wisata lainnya, seperti menikmati keindahan alam pantai dan bukit atau gunung, dll. Para traveler yang tinggal di homestay adalah mereka yang berkeinginan berwisata sambil mempelajari budaya setempat atau rutinitas tertentu. Jadi mereka tinggal untuk beberapa lama/hari.
Misalnya, di Jogya banyak pelajar atau mahasiswa asing tinggal di homestay untuk belajar bahasa Indonesia.

Jika Anda dan komunitas Anda berwisata ke Jogya, dan ingin mendapatkan pengalaman berwisata yang beda, cobalah tidak menginap di hotel. Carilah homestay! Anda akan mendapatkan pengalaman yang berbeda. Bedanya dimana?
Menginap di homestay tentu banyak asiknya. Salah satunya, berkesempatan untuk lebih dekat dengan alam dan masyarakat sekitar. Anda masuk ke denyut nadi masyarakat dimana Anda dan komunitas Anda menginap selama beberapa hari.
Anda dapat melihat roda kehidupan masyarakat berputar di sekitar homestay. Melihat petani pergi ke sawah seusai subuh. Melihat simbok-simbok pergi ke pasar pada dini hari. Melihat para pekerja bersepeda beriringan.
Juga mendengar kokok ayam di dini hari. Dan malam hari, menikmati orkestra satwa malam dari rimbunnya pepohonan.
Pagi dan siang hari, tampak kesibukan di persawahan. Para petani menyemai, menanam, menyiangi rumput, membersihkan hama, dan jika waktu panen tiba, ibu-ibu desa bercaping bersenandung ria memetik padi.
Pemandangan alami di alam pedesaan itu pasti tidak tersaji di landscape perkotaan, dimana hotel-hotel bersanding satu sama lain memenuhi area yang ada.
Homestay memanjakan para penginap serasa di rumah sendiri. Nyaman dan aman.
Salah satu homestay yang dapat Anda pilih untuk menikmati suasana alami desa yang asri, dengan kehidupan masyarakat petani di sekitarnya adalah Omah Tetirah. Homestay ini berlokasi di Berbah, Sleman. Setengah jam perjalanan dari pusat kota Jogya, arah Wonosari, Gunung Kidul.
Homestay dengan 5 kamar, dilengkapi dengan gazebo untuk kongkow dan ruang tengah untuk pertemuan. Bagian belakang homestay berhadapan dengan sawah dan bagian depan menghadap jalan beraspal.

Yang berencana berlibur ke Jogya, apalagi bersama keluarga atau komunitas, pas banget jika bermalam di homestay Omah Tetirah ini.
Selamat berlibur. Bibit kerinduan tentang Jogya akan tersemai di Omah Tetirah ini.
Ditulis oleh Anton Sumarjana dan sudah dimuat di: https://beritabernas.com/berwisata-menginap-di-homestay-di-jogj-wisatawan-serasa-peneliti/